"Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan."


Langkah,
sayup gemuruh senja yang keruh
takkala garis nasib melengkung di ujung gerimis
memilih cakrawala serintik tak berlapis awan menjulang
kembali burung-burung selatan pada sepucuk ilalang rindu

Rezeki,
ucap pertama lalu pengampunan berbisik
suci menadah penyesalan
kurenung keikhlasan
menemui
-Mu

Pertemuan,
di akhir tahun dengan sembari nyanyian sepi
pagi menembus tabir-tabir sunyi
petang menempuh buana doa
malam menjelma penjara
menepi di ujung
letih

takdir mengerti
di akhir titik
:Mati

"Aku hanya sekedar memastikan pada jiwaku, bahwa keindahan-keindahan itu tetap ada dan tetap hidup serta bersemayam dalam kesunyian ragaku. Sekiranya hati itu harus merangkak dalam selubung kabut kegetiran atau pun berada dalam kematian panjang, penderitaanlah yang menuntun jiwaku semakin tegar dan bisa bertahan di sampai hari ini. - Duka Cita - Keluh Pesah - Kesedihan - Gelak tawa kebahagian sungguhku tak bisa di pungkiri rasa itu ."

Minggu, April 26, 2009

M E P A N D E S

mungkin bayanganlah..–tak tesentuh kasat mata;kepekaan, pembentukan jiwa
catur asmara menyemat cinta, dari sajen sorohan seorang pinandita
bisik
alam sadar membilang titah ajaran dharma
ditusuk
sakral penggiring mantera menginjak dewasa
setajam gundah tak mampu merangkai aksara
gurat bibir menyerpih luka merapuh raga
penantian cahaya bersumber dalam diri. menginjak kedewasaan, wujud altar beralas kama. pengasah krodha pun tertata rapi siap melaksanakan upacara suci. sebelum mada mengheningkan ritual anak kami.”
-byang.. panca indra ini siap melafalkan griyahasta, melepaskan ripu di tikar pandan yang kau hiasi dengan cicin dan permata.


Jumat, April 24, 2009

Menyemai Mimpi


begitu mesra birahi memuja lekuk tubuhmu
terlanjur hasrat menyulutkan rindu
serantai kisah menadah sebutir harapan
meresahkan angin menyampaikan pesan

entah pengakuan sepi semakin kusut
menatap bulan bercermin ke laut
sunyi menawan hati mengeja luka
terlalu perih merajut pintalan kata

aku ingin menyemai mimpi, membujur kaku di senyummu
bukankah surat darimu kebisuan kain putih berlapis kelabu
teramat jarang kubaca, sebagai isyarat janji melebur kekecewaan
semoga ini bukan kutukan puisi, dari lingkar jemari manis;kesetiaanku

Kamis, April 23, 2009

Hari Kesekian Pertemuan Kita


- selubung kabut kegetiran di bibirmu menimbun kecemasan
terompah catatan frase yang tertinggal di wajahku, mengeja
guratan kisah hingga labil tak asing, berderai mengendap resahnya

hari kesekian pertemuan kita di taman kota. tak ada yang berubah, hanya kursi yang semakin lapuk. dan semak daun-daun kesetiaan berguguran letih, tersapu angin, begitu akrab terapung di kolam. yang katamu airnya tak pernah mengering, seperti doktrin rasa cintaku menyelinap di sela gemericik hatimu.

sisa mulutku di bibirmu membasuh cemas. takut tak ada lagi cahaya, kehilangan nafas panjang tuk hari pertemuan selanjutnya. aku dengar desahanmu melukiskan elegi kesunyian, debarlah yang membalut kasa kesabaranku menjaga hingga senja menjelang. entah berapa helai hari lagi

kesekian pertemuan kita?

Selasa, April 21, 2009

Stanza Lilin Kecil

Di lengkungan tali sumbu sunyi menyala
Melukiskan kerinduanmu pada sebatang korek api
Di atas secawan gelisah engkau menari
Seolah mengajari waktu tuk membawa impian
Dahaga akan gelap meneguk batang tubuhmu
Kecewa irama cahaya, mencairkan denyutan;bahagia
Tiada daya gemetar di ujung angin hingga mati
Tersemat rasa bangga yang abadi

Jumat, April 17, 2009

Menata Luka

-tubir gelisahanmu merabas sela tampias embun
selebihnya, setangkup rindu bejana penyesalanku

lenyap selembar daun kisah, berguguran lapuk patah membusuk
dilayangkan gairah angin dari pucuk ilusi bertangkai sepi
melingkar disayup bahasa merengkuh alas luka
bergumpal meremah nasib, tafsir bulir-bulir bulu mata;kesetiaan

Senin, April 13, 2009

Kemarin Yang Berkata

kata meneteskan ucapan: selamat
melarutkan harinya di ujung pena
berpisah kerinduan secarik kertas

: coret mencoret sketsa dini-hari

melilit ujung ruang pada jam dinding berdetak
batas rindu di sisi jendela pun menghela nafas
seolah potongan-potongan kisah berantakan di lantai

sementara penghuni kenangan, tertitip sayapnya
pada huluan meja dengan segelas sajak kopi hitam
menawarkan sebatang kesedihan, tuk menyamarkan
kebahagiaannya lalu tersematkan di dada

kemunafikan menulis hari ini. dengan bersahut
Ah, itu kan kemarin yang berkata

Sabtu, April 11, 2009

embun di matamu

sungguh, kesetian embun pada rumput
seperti rindu menata gelisah
kerut wajahmu. sebuah narasi yang kupunggut dari setumpuk warna berserakan. hitam dan putih saling pergantian saat perjalanan berakhir sempurna. garis patah-patah basah berpadu segumpal mendung berarak lesu. seperti sinar tubuhmu, yang ada hanya memapah obor keraguan. harapan sepatah kata pun menyelusupkan pada punggungku. sepertinya rindu mengemasi separuh usia kulitmu.
butiran embun pada bola matamu, saling bertanya. mencari makna segurat senyum. dan hanya bibir, yang sepertinya tak pernah lelah menerjemahkan gelisah. lalu semakin tersesat gerak tubuhku mengangguk menjawabnya.

Jumat, April 10, 2009

Miniatur Istana Cinta

selamat datang di sini kidung kenangan, sahut serat jantung. yang terperas dari tinta air mata. Mari kuantar kau pada sebuah miniatur istana cinta.yang kubangun dari kemunafikan janji. danhijau rerumputan kesetiaan erat mengikis rindu yang nyeri.

di sini tabah hanya sebagai pondasi. liat lah kecantikan hasrat . lantaran cintanya telah menggunung dan meneteskan larva kuciptakan, taman mimpi agar mudah di seberangi jiwa yang kerdil.

di sisi tiang tak terjamah ramah. merambat sekuntum racun berbisa yang bisa mengokohkan kerajaan kirana. dengan sketsa garis patah-patah yang tak jelas.kupancang syair-syair gulita melukiskan kebencian, menerobos masuk melalui celah-celah kulit.

di lantai yang beralas rumbia kerinduan, dapat kau temukan kepingan-kepingan kebahagian, diantara serakan-serakan hati yang tak utuh lagi. hancur, pecah, berantakan oleh sebuah kekuatan serat ego. yang lewat ketajaman pedangnya menghunuskan pada sulur waktu.

tapi, maafkanlah..
jika dalam penyambutan ini, ranjang kesetiaan belum bisa dihadirkan.penuh dengan muntahan doa tak kunjung henti.

Kamis, April 09, 2009

Rapuh Gerimis

-rindu mengikis gerimis
kutapaki jalan genangan airmata, keloknya tak pasti..
seulur kisah
jatuh berderai
merinai sunyi, di tanah basah yang
terlupakan

Senin, April 06, 2009

Lakon-Lakon Suara



/1/
ranting baru saja mengering
bimbang mengakhiri musim
menyematkan kenangan
pekat di ujung bibir
kemarin lukanya sudah mengering
melihat perih berdampingan dan setia
melangkah sakit
tanpa menoleh luka
baru saja menunggumu
perih juga mengering

/2/
sunyi menyuguhkan secawan airmata
enggan tuk pergi dari kais wajahmu
menatap saja dalam bisu:gejolak rindu
merambahi setiap perjalanan
mengajariku jalan pulang
pada catatan usang tak berujung
gemetar kehilangan
pertanyaan-pertanyaan
:kalimat birahi

/3/
terasa asing bukan?
jemarimu mengenggam erat jariku
helaian nafasmu
tawarkan sekuntum mimpi untukku
berapa harga selembar daun untuk mengukir masa?
:tergantung keriput menisankan nama cinta

Sepi Yang Mengambang


benarkah sepi merasakan bahagianya?
melenggang memainkan luka
berdiri, menepis lengan
terengah-engah mengeja kata rindu

“sekar, jangan bersuara
benih yang kita rindukan tersesat
di sela kabut pecahan rahim janjimu”
(dan ini bukan kita saja:jangan kau tanya mengapa)
jeritan pena tergelincir pada serangkaian gerimis
alasan sepi, menitipkan desah bahagia
kelak engkau kan mengerti
namun tak ada lagi punya makna

Minggu, April 05, 2009

Berlayarlah Dengan Bendera Atas Nama Diri


: 5 1 - 3 7 4

Ingin kuajak dirimu serta dalam pelayaran mencari sepi
Tentang cinta dan rahasia waktu juga maqom tempat menuju
Tetapi kita punya alamat sendiri-sendiri, cobalah mencari
Punya tujuan sendiri-sendiri meski sama berperahu puisi

Gerimis itu penanda berpisah seperti jejak di setiap pulang
Sebagai tanda sapa yang memulangkan rindu ke asal sunyi
Meski kenangan terus menghidu asinnya buih seperti katamu
Pelayaran kita menempuh waktu tak bisa dibagi, sudah begitu

Ingin kuajakamu serta dalam serta palayaranku membuka rahasia
Tentang kesetian dan arah angin juga alamat untuk kembali
Tetapi kita punya perahu sendiri-sendiri untuk menuju dermaga sunyi
Jikapun pernah bersua bukan untuk tak saling berpisah, begitulah waktu

Maka layarilah lautmu sambil membaca gerakan angin
Mencari-cari jejak hakikat, yang mana emas yang mana loyang
Sungguh puisi hanyalah kata tetapi bukan berarti busa
Rajutlah ia menjadi layar sebagai bekal menuju kesana
Dengan atas nama diri sendiri begitulah kita menuju mati

sertakan aku dalam pelayaranmu, pelaut

:Lelaki Yang Menyetubuhi Laut

sertakan aku dalam pelayaranmu, pelaut. tetes gerimis mengajakku pulang. tiap arah saling sapa menyembunyikan kerinduan. mengantarkan sunyi, setelah kenangan terlampau jauh meninggalkanku. hanya, desiran ombak menghidu asinnya buih-buih samudera kisah. terlalu berat kulayari, merambat gelisah melarungkan bujur kaku penantian.

kemudian angin menjelma bahasa kesetiaan. yang, memaksaku harus ikut berlayar di kapalmu. menuju dermaga waktu. persinggahan mengenang sebuah nama. mencatat lembar-lembar luka, tersimpan pedih di terumbu airmata. mutiara pun menyematkan duka suci itu.

lalu laut membenamkan angan ke dasarnya, hempaskan pesan tak bertepi, hanyutkan seribu satu kisah ranting kering pada sela kabut purnama. tertutup pekat badai.misteri tenggelamnya bunga tidur.

berbekal doa sertakan aku dalam pelayaranmu

pelaut.

Jumat, April 03, 2009

Lukaku Terselip Di Kerudungmu, Nona


Lukaku terselip di kerudungmu , nona. terurai kenangan tak menyisakan tempat. menanam benih duka. namun di tenggorokanmu ada sepotong mimpi luruh subuh tadi, menyirat bersama sunyi dicumbui goresan sepi, tak bisa berucap , saat kau meneguk embun pagi. jatuh berderai, dalam bentuk rinai , di gerimis hati.
Lukaku terselip di kerudungmu, nona. semakin rapat tertutupi janji. tersemat bau busuk di ujung leher,menghidu kasturi etika cinta. tiada cita, lenyap di garis tak bertepi. dan mengelus punggungmu, menjadi resah : merayu lekuk nasib memeluk kenyataan.
Nona, lukaku terselip di kerudungmu. dijinjing dosa menanggung perih dan menghubung jasadku pada
Kebeninganmu.
Sepertinya rambut ikalmu menempa luka itu, nona. berbalut kafan di kebumikan waktu, sampai kau sambut hidup baruku melanda kesepian.
Lukaku terselip di kerudungmu, nona. mungkin tak berbekas kesengsaraan, andai saja kau sarungkan
Kesetiaanmu.